1. KITAB TAFSIR AL-QUR’AN DAN TERJEMAHNYA. (hal. 678) dikeluarkan oleh Tim Tashhih Departemen Agama RI.
Tafsir Surah Al-Ahzaab: 59 tentang makna jilbab , (…Hendaklah mereka menghulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka . ..), iaitu: Jilbab adalah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.
2. KITAB TAFSIR ATH-THOBARI ditulis oleh Al-Imam Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib ath-Thabari رحمه الله .
Kitab tafsir ini adalah kitab rujukan yang terkenal di dunia Islam.
Pembahasan purdah di dalam kitab ini di antaranya dalam:
a. Tafsir Surah An-Nur ayat 31 tentang إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنـْهَا(… kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.), iaitu :
Allah berkata, “Janganlah menampakkan perhiasan mereka kepada manusia selain mahramnya”. Perhiasan itu ada dua: yang disembunyikan seperti: gelang kaki, dua gelang tangan, dua anting-anting dan kalung. Dan yang kedua adalah yang biasa tampak – ada perbezaan pendapat tentang makna ayat dalam hal ini, dan sebahagiannya mengatakan ianya adalah PAKAIAN LUAR.
Ibnu Mas’ud berkata, ”Perhiasan ada dua macam: yang biasa tampak yaitu pakaian luar. Dan perhiasan yang disembunyikan yaitu: gelang kaki, dua anting-anting dan dua gelang tangan”.
Dari Abu Ishaq dari Abu al-Ahwash dari Abdullah berkata,” { إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنـْهَا } yaitu : pakaian.”
Berkata Abu Ishaq,”Apakah engkau tidak melihat firman Allah: “Pakailah perhiasanmu (pakaianmu) yang indah setiap memasuki masjid.” ?” (Surah Al-A’raf : 31)
b. Tafsir surat Al-Ahzab: 59 tentang makna jilbab, يُدْنِــينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِـيــبِهِنَّ (…Hendaklah mereka menghulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka . . .), iaitu:
Allah berkata kepada nabiNya Muhammad: “Hai Nabi! Katakanlah kepada isteri-isterimu dan wanita mukminah, janganlah menyerupai budak-budak di dalam berpakaian tatkala keluar rumah untuk suatu keperluan, mereka menampakkan rambut dan wajah-wajah mereka.
Akan tetapi hendaklah menghulurkan jilbab-jilbab mereka, sehingga orang-orang fasiq dapat mengenali mereka sebagai wanita merdeka dan terhindar dari gangguan dalam satu pendapat.
Ahli ta’wil berbeda pendapat di dalam cara mengulurkan jilbab yang diperintahkan Allah. Maka sebahagiannya mengatakan: yaitu MENUTUPI WAJAH-WAJAH dan kepala-kepala mereka dan tidaklah menampakkannya KECUALI HANYA SATU MATA SAJA.
”Ali melaporkan bahawa Ibnu Abbas berkata, “Allah telah memerintahkan wanita-wanita muslimah jika keluar dari rumah mereka untuk satu keperluan agar MENUTUP WAJAH-WAJAH MEREKA (mulai) dari atas kepalanya dengan jilbabnya dan menampakkan HANYA SATU MATA SAJA.”
Ibnu Ibnu Sirrin berkata,“Aku bertanya kepada Ubaidah tentang firman Allah tentang ayat { قُلْ ِلأَزْوَاجِك وَبَنَاتك وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبهنَّ}, maka iapun (mencontohkan) dengan pakaiannya, kemudian MENUTUP KEPALA DAN WAJAHNYA serta HANYA MENAMPAKKAN SALAH SATU MATANYA.
”Dan berkata yang selainnya, ”Bahkan diperintahkan kepada mereka agar mengikat (mengencang) jilbab- jilbabnya itu di dahi-dahi mereka.”
3. KITAB TAFSIR IBNU KATSIR ditulis oleh Al-Imam ‘Imaduddin Abu al-Fida’ bin ‘Umar bin Katsir ad-Dimasyiqi al-Qurasyi as-Syafi’i رحمه الله .
Kitab tafsir ini adalah rujukan yang sangat terkenal di seluruh dunia dan di pondok-pondok pesantren Indonesia sejak dahulu. Pembahasan purdah di dalam kitab ini di antaranya dalam:
a. Tafsir Surah An-Nur ayat 31 tentang إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنـْهَا(… kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.):
Iaitu, tidak menampakkan sesuatu apapun dari perhiasannya kepada laki-laki asing (bukan mahram) kecuali apa-apa yang tidak mungkin lagi disembunyikan. Berkata Ibnu Mas’ud , ”iaitu seperti RIDA’ dan PAKAIAN , yakni seperti yang dipakai di kalangan wanita Arab berupa mukena’ – yang menyelubungi pakaiannya dan menutupi apa yang terlihat di bagian bawahnya – , maka tidak mengapa hal tersebut (mukena’) terlihat kerana memang tidaklah mungkin disembunyikan lagi sebagaimana kain sarung.
”Dari Ibnu Abbas berkata,”kecuali wajah, kedua telapak tangan dan cincin.” …Dan kemungkinan bahawa Ibnu Abbas dan mereka yang mengikutinya memang menghendaki penafsiran “apa yang biasa tampak” sebagai wajah dan kedua telapak tangan.”
– pendapat ini masyhur di kalangan jumhur – dan didengar pula dari hadits yang diriwayatkan Abu Dawud di dalam Sunan-nya…dari Aisyah رَضِيَ اللَّه عَنْهَا bahawa Asma’ binti Abu Bakar masuk menemui Nabi dengan pakaian yang jarang. Maka Nabi berpaling darinya sambil berkata,”Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita bila telah haidh maka tidak boleh terlihat darinya kecuali ini.” Dan beliau mengisyaratkan wajah dan telapak tangannya.
- Abu Dawud dan Abu Hatim ar-Razi berkata bahawa hadith ini MURSAL.
Hal ini kerana Kholid bin Duraik tidak pernah mendengar dari Aisyah رَضِيَ اللَّه عَنْهَا . Wallahu ‘alam.
b. Tafsir Surah Al-Ahzab: 59 tentang makna jilbab , يُدْنِــينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِـيــبِهِنَّ (…Hendaklah mereka menghulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka…), iaitu:
Jilbab ialah rida’ yang dikenakan di atas khimar (kerudung), demikian perkataan Ibnu Mas’ud, Ubaidah, Qatadah, Hasan al-Bashri, Sai’d ibn Jubair, Ibrahim an-Nakha’i dan Atha’ al-Khurasani.
Dan ada selainnya mengatakan jilbab itu kedudukannya sama seperti kain sarung di masa kini.
Berkata Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas: “Allah telah memerintahkan wanita-wanita muslimah jika keluar dari rumah mereka untuk suatu keperluan agar MENUTUP WAJAH-WAJAH MEREKA (mulai) dari atas kepalanya dengan jilbabnya dan menampakkan HANYA SATU MATA SAJA”.
Berkata Muhammad Ibnu Sirrin: “Aku bertanya kepada Ubaidah as-Salmani tentang firman Allah : يُدْنِيــنَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنّ , maka ia pun (menunjukkan contoh dengan ) MENUTUP WAJAH dan kepalanya serta MENAMPAKKAN MATA KIRINYA.
”Dan berkata Ikrimah,”menutupkan celah lehernya dengan jilbabnya yang terjulur dari atasnya.”
”Dari Ummu Salamah berkata,”Ketika turun ayat ini يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبهنَّ , keluarlah wanita-wanita Ansar seolah-olah kepala mereka ada burung gagak karena HITAMNYA PAKAIAN yang mereka kenakan.
“Di dalam Tafsir at-Thobari dan Tafsir Ibnu Katsir terlihat ADA PERBEZAAN antara Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas ketika menafsirkan An-Nur ayat 31 tentang إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنـْهَا (… kecuali yang (biasa) nampak dari padanya…).
Ibnu Mas’ud menyatakan bahawa yang ditampakkan HANYALAH PAKAIANNYA saja sedangkan Ibnu Abbas MENGECUALIKAN WAJAH DAN TELAPAK TANGAN sebagai bahagian yang tidak ditutup.
Namun ketika menafsirkan Al-Ahzab ayat 59 tentang makna jilbab, Ibnu Abbas TIDAK mengecualikan wajah dan telapak tangan! Beliau bahkan hanya mengecualikan SATU MATA SAJA yang boleh ditampakkan!
Maka dengan demikian kedua sahabat Nabi -yang keduanya didoakan Nabi sebagai ahli tafsir al-Qur’an < 1 > – sama-sama SEPENDAPAT bahawa wajah perempuan itu termasuk yang ditutup kecuali mata saja!
4. KITAB TAFSIR JALALAIN ditulis oleh Syaikh Jalaluddin ibn Muhammad Al-Mahalli رحمه الله dan Syaikh Jalaluddin ibn Abi Bakrin as-Suyuthi رحمه الله.
Kitab tafsir ini digunakan di hampir seluruh dunia dan pondok-pondok pesantren di Indonesia sejak dahulu. Pembahasan purdah di dalam kitab ini di antaranya dalam:
a. Tafsir surat An-Nuur ayat 31 tentang زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْـهَا (… perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.), yaitu: ” wajah dan kedua telapak tangan, maka DIBOLEHKAN terlihat lelaki asing jika tidak takut terjadi fitnah; pada satu pendapat.
Pada pendapat kedua DIHARAMKAN terlihat (wajah dan kedua telapak tangan) kerana dapat mengundang fitnah dan (pendapat ini) kuat untuk memutus pintu fitnah tersebut.” < 2 >
b. Tafsir surat Al-Ahzaab : 59 tentang makna jilbab, يُدْنـِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبـهِنَّ (…Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka…):
“Bentuk jamak dari jilbab, iaitu pakaian besar yang menyelubungi perempuan, yaitu MENURUNKAN SEBAGAIANNYA KE ATAS WAJAH-WAJAH MEREKA ketika keluar untuk suatu keperluan hingga TIDAK MENAMPAKKANYA KECUALI HANYA SATU MATA SAJA.”
< 3 >
5. KITAB TAFSIR AISAR AT-TAFASIR ditulis oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi رحمه الله, semasa hidup adalah Imam Besar Masjid Nabawi Madinah, seorang ulama yang dikenal oleh kaum muslimin Indonesia khususnya bagi jamaah haji yang berkunjung ke Madinah dan penulis kitab Minhajul Muslim (Pedoman Hidup Seorang Muslim) yang banyak dibaca kaum muslimin di Indonesia. Perbahasan purdah di antaranya dalam:
a. Tafsir Surat An-Nur ayat 31 tentang إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْـهَا (… kecuali yang (biasa) nampak dari padanya…), iaitu : “Apa saja yang tidak mungkin ditutup lagi atau disembunyikan lagi seperti KEDUA TELAPAK TANGAN ketika menerima atau memberi sesuatu atau kedua MATA untuk melihat.
Dan apabila di tangannya terdapat cincin dan pacar (pemerah kuku) dan pada kedua matanya terdapat celak dan pakaian yang memang sudah tampak dari kerudung-kerudung di atas kepala dan pakaian ‘abaya yang menutupi seluruh tubuh, maka hal demikian adalah dimaafkan kerana memang tidak bisa ditutup lagi”. < 4 >
Tafsir Surah Al-Ahzab: 59 tentang makna jilbab , يُدْنِيـنَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ (…Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka…), iaitu : “menurunkan jilbab-jilbab mereka ke atas WAJAH-WAJAH MEREKA sehingga tidak terlihat lagi dari seorang perempuan KECUALI SATU MATA untuk melihat jalan jika ia keluar untuk suatu keperluan.” < 5 >
RUJUKAN
1. Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda untuk Ibnu Mas’ud, “Sesungguhnya ia (Ibnu Mas’ud) pentalkin (pengajar, pembimbing) yang mudah difahami.” Dan untuk Ibnu Abbas, Beliau صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda,” Ya Allah, jadikanlah dia (Ibnu Abbas) faham terhadap agama ini dan ajarkanlah dia ta’wil (penafsiran Al Qur’an)”. Lihat Kasyfu al-Qina’ : 62, Shahih Bukhari 4:10, Muslim 2477 dan Ahmad 1:266, 314, 328, 335.
2. Tafsir Jalalain : 257.
3. Tafsir Jalalain : 307.
4. Tafsir Aisar at- Tafasir 3 : 566.
5. Tafsir Aisar at- Tafasir 4 : 290.
6. KITAB FIQH AL-UMM ditulis oleh al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i رحمه الله , ulama besar di dalam fiqh yang menjadi anutan para ulama lainnya. Purdah di antaranya disinggung di dalam:
a. Al-Umm Kitab Thoharoh Bab Mengusap Kepala :
“(Berkata asy-Syafi’i ”Dan ketika Allah membolehkan mengusap kepala saja (adalah Rasulullah benar-benar melepas serbannya) maka hal ini sudah cukup tegas menunjukkan bahawa mengusap kepala itu dilakukan tanpa mengusap serban. Dan aku menyukai bila seseorang itu mengusap serbannya beserta kepalanya. Dan jika meninggalkan hal itu maka tidak mengapa. Namun jika ia mengusap serbannya saja tanpa kepalanya maka tidaklah sah wuduknya. Hal ini seperti hanya mengusap BURQA (purdah) saja, atau kedua sarung tangan saja tanpa mengenai wajahnya dan kedua hastanya maka tidak sah wuduknya.” < 6 >
Adanya perkataan al-Imam asy-Syafi’i رحمه اللهtentang burqa (purdah) dan sarung tangan sudah cukup untuk menunjukkan bahawa menutup muka dan sarung tangan telah menjadi kebiasaan wanita muslimah pada masa itu.
b. Al-Umm Kitab Haji Bab Pakaian Apa yang Dipakai Seorang Perempuan :
“Perbedaan antara perempuan dengan laki-laki di dalam ihram adalah perempuan pada wajahnya dan laki-laki pada kepalanya. Laki-laki boleh menutup wajahnya setiap saat tanpa ada hal darurat, akan tetapi hal ini terlarang bagi perempuan”.
“Adapun seorang perempuan (dalam ihram) bila wajahnya dalam keadaan terbuka dan ia ingin menutupinya dari manusia; maka hendaknya ia menurunkan jilbabnya atau sebagian kerudungnya atau kain lainnya dari pakaiannya dari atas kepalanya ke depan wajahnya (tidak menempel) sehingga MENUTUPI WAJAHNYA seperti penutup pada wajah namun tidak seperti niqob (yang menempel pada wajah). ” < 7 >
Kita tahu bahawa di dalam ihram wanita tidak boleh menutup mukanya sehingga kebanyakan ulama berpendapat, wanita yang ihram wajib membuka wajah dan tangannya. Larangan ini juga mengindikasikan bahawa menutup wajah telah menjadi kebiasaan dan kewajaran bagi wanita muslimah pada masa Nabi .
Namun demikian, anehnya Imam asy-Syafi’i رحمه الله tetap membolehkan wanita menutupi wajahnya dari pandangan laki-laki bila dikhawatirkan terfitnah syahwat dengan cara wanita itu menutupi wajahnya dengan jilbabnya, kerudungnya atau kain dari pakaiannya di depan mukanya (tidak ditempelkan ke wajahnya).
Larangan yang keras tidak dapat digugurkan dan dilanggar kecuali dengan perbuatan penentang yang kekuatan hukumnya sepadan dengan larangan itu. Sedangkan perkara yang wajib tidaklah dapat dilawan kecuali dengan perkara yang wajib pula. Maka kalau bukan kerana kewajiban menutup wajah bagi wanita, nescaya tidak boleh meninggalkan kewajiban ini (yakni membuka wajah bagi wanita yang ihram). < 8 >
7. KITAB FIQH KIFAYATUL AKHYAR ditulis oleh al-Imam Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Hisni ad-Dimsyaqi asy-Syafi’i رحمه الله , seorang ulama’ masyhur mazhab Syafi’i .
Kitab fiqh Kifayatul Akhyar ini digunakan di hampir seluruh dunia, di seluruh daerah dan pondok-pondok pesantren di Indonesia sejak dahulu. Pembahasan purdah sentiasa menghiasi kitab ini ketika membahas tentang aurat wanita; di antaranya:
a. Pada Kitab Shalat Bab Syarat-Syarat Shalat Sebelum Mengerjakannya, iaitu :
“{Dan menutup aurat dengan pakaian yang suci, dan berdiri di tempat yang suci}. –
Adapun perkara pakaian dan tempat harus suci dari najis, telah diterangkan sebelumnya. Adapun menutup aurat hukumnya wajib secara mutlak bahkan di tempat sepi sekalipun, menurut pendapat yang kuat. . . .
Bagi wanita hukumnya WAJIB dia mengenakan PENUTUP MUKA (purdah), kecuali jika berada di dalam masjid. Jika di masjid itu banyak laki-laki yang tidak mau menjaga matanya dari melihat wanita dan dikhawatirkan dapat menarik kepada kerosakan maka wanita itu HARAM MEMBUKA WAJAHNYA .
Dalam hal ini banyak sekali wanita yang membuka penutup wajahnya terutama di tempat-tempat ziarah seperti di Baitul Maqdis,-semoga Allah menambah kemuliaannya-, maka perbuatan semacam itu (membuka wajah) harus dijauhi.”
< 9 >
b. Pada Kitab Haji Bab Hal yang Haram di Dalam Berihram, yaitu :
“Dan diharamkan atas orang yang berihram melakukan 10 perkara, yaitu (1) memakai pakaian yang berjahit, (2) menutup kepala bagi laki-laki dan (3) menutup muka bagi wanita.
“… dan itu semua bagi laki-laki, adapun wanita, maka hukum wajahnya sama dengan hukum kepala bagi laki-laki. Wanita boleh menutupi seluruh badannya dan kepalanya dengan pakaian yang berjahit.
Dan juga bagi wanita agar MENUTUPI WAJAHNYA dengan kain atau secebis kain, dengan syarat kain tersebut tidak menyentuh mukanya. Baik menutupi wajahnya itu kerana suatu hajat, seperti kepanasan, kedinginan, atau karena takut terjadi fitnah (syahwat) dan lain-lain ataupun juga tanpa sebab hajat apapun.” < 10 >
Kita tahu bahawa di dalam ihram wanita tidak boleh menutup mukanya. Larangan ini mengindikasikan bahawa menutup wajah telah menjadi kebiasaan dan kewajaran bagi wanita muslimah pada masa Nabi. Namun demikian para ulama tetap membolehkan wanita menutup wajahnya sebagaimana tertulis di dalam kitab Kifayatul Akhyar ini.
Hal ini berdasarkan hadith dari Aisyah رضي الله عنها yang tertulis di dalam Musnad Ahmad 6/22894 dan Sunan Abu Dawud Kitab Manasik Bab Wanita Ihram Menutup Wajahnya, berikut ini:
“Para pemandu kenderaan biasa melewati kami, di saat kami (para wanita) berihram bersama-sama Rasulullah. Maka jika mereka mendekati kami, salah seorang di antara kami menurunkan jilbabnya dari kepalanya kepada wajahnya. Jika mereka telah melewati kami, kami membuka wajah.” < 11 >
8. KITAB FIQH FATHUL QARIB ditulis oleh al-Imam al-Alaamah as-Syaikh Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim asy-Syafi’i رحمه الله, seorang ulama’ masyhur mazhab Syafi’i .
Kitab Fiqh Fathul Qarib ini adalah kitab fiqh kecil yang digunakan di hampir seluruh dunia, di seluruh daerah dan pondok-pondok pesantren di Indonesia sejak dahulu. Purdah menghiasi kitab ini ketika membahas tentang aurat wanita; di antaranya :
a. Pada Kitab Shalat Pasal Syarat-Syarat Shalat Sebelum Mengerjakannya , yaitu
“Aurat perempuan merdeka DI DALAM SHALAT, yaitu sesuatu yang ada selain dari WAJAHNYA dan KEDUA TELAPAK TANGANNYA, baik bagian atas ataupun dalamnya sampai kedua pergelangannya. Adapun auratnya perempuan yang merdeka DI LUAR SHALAT ialah SELURUH BADANNYA dan di tempat sunyi auratnya sama dengan laki-laki.” < 12 >
b. Pada Kitab Shalat Pasal Perkara-Perkara yang Berbeda di Dalam Shalat antara Laki-Laki dan Perempuan.
“(Seluruh badan perempuan merdeka adalah aurat KECUALI WAJAH dan TELAPAK TANGAN). Ini adalah aurat perempuan DI DALAM SHALAT. Sedangkan aurat perempuan merdeka DI LUAR SHALAT ialah SELURUH BADANNYA.” < 13 >
RUMUSAN
Sebenarnya bila kita teliti satu persatu di dalam kitab-kitab yang telah disebut di atas, kita akan dapati lagi terminologi purdah di dalam bab-babnya dan fasal-fasalnya.
Selain itu masih banyak lagi kitab-kitab para ulama yang membahas masalah purdah, seperti di dalam kitab Raudhah ath-Thalibin oleh Imam an-Nawawi, Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Fathul Bari oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram, Naylul Authar, Jami’ Ulum wal Hikam, Tafsir al-Qurthubi dan sebagainya. Namun pastilah akan berlembar-lembar bahkan ribuan lembar bila seluruhnya harus ditulis di sini.
Dari penjelasan kitab-kitab di atas kita tahu bahawa tidak ada satu pun dari para ulama yang mencela, menuduh ataupun menganggap bahawa purdah adalah barang baru (bid’ah), aliran sesat bahkan justeru yang ada adalah sebaliknya: purdah telah dicontohkan para isteri Nabi dan perempuan muslimah di zaman Nabi.
Bila kita perhatikan tampaklah bahawa para ulama tafsir dan ulama mazhab Syafi’i telah memberikan status hukum purdah dari sesuatu yang wajib hingga mandub (dianjurkan). Bahkan bila dikhuatirkan terjadi fitnah syahwat maka cenderung mewajibkannya walaupun dalam keadaan wanita itu sedang berihram.
Oleh kerana itu jika telah diketahui kedudukan purdah di dalam Islam ini namun ternyata masih ada orang yang bersikap sinis, mencela, memperolokkan, melarang atau menuduh aliran sesat maka ketahuilah bahawa orang tersebut adalah orang yang hatinya kotor, picik, sempit dan dengki terhadap Islam. Allah berkata melalui surah Al-Baqarah ayat 10,
“di hati mereka ada penyakit, lalu Allah tambah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta”
13. yang apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata: “Itu adalah dongengan orang-orang yang dahulu”
14. sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.
(Al-Muthaffifiin: 13-14)
Bahkan mereka selalu memperolok orang beriman yang mengamalkan syariat Islam. Allah berkata,
29. Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang mentertawakan orang-orang yang beriman.
30. dan apabila orang-orang yang beriman berlalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya.
31. dan apabila orang-orang yang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira.
32. dan apabila mereka melihat orang-orang mukmin, mereka mengatakan: “Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat”,
33. Padahal orang-orang yang berdosa itu tidak dikirim untuk menjadi penjaga bagi orang-orang mukmin.
34. Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman mentertawakan orang-orang kafir,
35. mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang.
36. Sesungguhnya orang-orang kafir telah diberi ganjaran terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.
(Al-Muthaffifiin : 29-36)
Maka dari itu hendaklah setiap orang berhati-hati di dalam bertindak dan bersikap sehingga tidak melakukan pelarangan, tuduhan atau celaan dengan tanpa ilmu. Kerana bisa terjadi yang dilarang, dituduh dan dicela itu adalah ajaran agama kita sendiri yang telah disyari’atkan oleh Allah dan RasulNya .
63. Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.
(An-Nuur : 63)
Ingatlah, Allah senantiasa akan meminta pertanggungjawaban atas pendengaran, penglihatan dan hati kita,
36. dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta bertanggung jawab.
(Al-Isra” : 36)
Semoga kita senantiasa diberi petunjuk dan tambahan ilmu oleh Allah. Semoga kita diberi kekuatan oleh Allah di dalam mengamalkan agama yang mulia ini sehingga senantiasa tegar di atas jalanNya dan tidak takut atau gentar terhadap celaan orang yang suka mencela.
Semoga Allah mengokohkan persatuan kaum muslimin sehingga tidak tercerai berai. Amin.
Selesai ditulis di Jakarta, pada hari Jumaat, 7 Dzulhijjah 1429 H / 5 Desember 2008.
Ummu Ashhama Zeedan (Mrs. Novita Kartikasari) < 14 >
RUJUKAN :
6. Al-Umm,.
7. Al-Umm,.
8. Lihat penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin , Risalah Al Hijab, hal 18-19, penerbit Darul Qasim.
9. Kifayatul Akhyar , Kitab Shalat
10. Kifayatul Akhyar , Kitab Haji B: 221-222.
11. HR. Ahmad 6 / 22894, Sunan Abu Dawud no.: 1835
12. Fathul Qarib : 13.
13. Fathul Qarib : 15.
14. Penulis adalah guru di Ar-Rahman Islamic School Cinere Depok
No comments:
Post a Comment